Hanya sebuah blog sederhana untuk menuliskan ekspresi keseharian si penulis jika dia lagi ingin menulis sebagai sarana berbagi informasi dan pengalaman, dan bagi teman-teman yang mau tulisannya di muat di blog ini silahkan kirimkan ke ughievexterz@gmail.com
Monday, 29 October 2012
Saturday, 27 October 2012
Cerita Renungan Dari Pak Suyatno.
Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi. Usia yang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, Pak Suyatno, 58 tahun, kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit, istrinya juga sudah tua. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun dan dikaruniai 4 orang anak.
Di sinilah awal cobaan menerpa. Setelah istrinya melahirkan anak keempat, tiba tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. I
Di sinilah awal cobaan menerpa. Setelah istrinya melahirkan anak keempat, tiba tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. I
tu terjadi selama 2 tahun. Menginjak tahun ketiga, seluruh tubuhnya menjadi lemah, bahkan terasa tidak bertulang, lidahnya pun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari, Pak Suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya ke atas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja, dia letakkan istrinya di depan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya tidak dapat bicara, tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum.
Untunglah tempat usaha Pak Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya, sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. Sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian, dan selepas waktu maghrib, dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa saja yg dia alami seharian. Walau pun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, Pak Suyatno sudah cukup senang, bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.
Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun. Dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke 4 buah hati mereka. Sekarang, anak anak mereka sudah dewasa, tinggal si bungsu yang masih kuliah.
Pada suatu hari, ke empat anak Suyatno berkumpul di rumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah, sudah tinggal dengan keluarga masing-masing, dan Pak Suyatno memutuskan, ibu mereka dia yang merawatnya sendiri. Yang dia inginkan hanya satu, semua anaknya berhasil.
Dengan kalimat yang cukup hati hati, anak yang sulung berkata, “Pak, kami ingin sekali merawat ibu. Semenjak kami kecil, melihat bapak merawat ibu, tidak ada sedikit pun keluhan keluar dari bibir bapak, bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu.”
Dengan air mata berlinang, anak itu melanjutkan kata katanya, “Sudah yang keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibu pun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak? Dengan berkorban seperti ini, kami sudah tidak tega melihat bapak. Kami janji, kami akan merawat ibu baik baik secara bergantian.”
Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak anaknya, “Anakku… Jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah, tapi ketahuilah, dengan adanya ibu kalian di sampingku, itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian. Sejenak kerongkongannya tersekat, kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satu pun dapat dihargai dengan apa pun.”
“Coba kalian tanya ibumu, apakah dia menginginkan keadaannya seperti ini? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah batin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang? Kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit?”
Sejenak meledaklah tangis anak anak Pak Suyatno. Mereka pun melihat butiran butiran kecil jatuh di pelupuk mata ibu Suyatno. Dengan pilu, ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu.
------------------
Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan mereka pun mengajukan pertanyaan kepada Suyatno, kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yang sudah tidak bisa apa apa.
Di saat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yang hadir di studio, kebanyakan kaum perempuan pun tidak sanggup menahan haru. Di situlah Pak Suyatno bercerita, ”Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi (waktu, tenaga, pikiran, perhatian), itu adalah kesia siaan.”
“Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat dia pun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan sepenuh hati, dan dia memberi saya 4 orang anak yang lucu lucu. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama.”
Setiap hari, Pak Suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya ke atas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja, dia letakkan istrinya di depan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya tidak dapat bicara, tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum.
Untunglah tempat usaha Pak Suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya, sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. Sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian, dan selepas waktu maghrib, dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa saja yg dia alami seharian. Walau pun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, Pak Suyatno sudah cukup senang, bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.
Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun. Dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke 4 buah hati mereka. Sekarang, anak anak mereka sudah dewasa, tinggal si bungsu yang masih kuliah.
Pada suatu hari, ke empat anak Suyatno berkumpul di rumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah, sudah tinggal dengan keluarga masing-masing, dan Pak Suyatno memutuskan, ibu mereka dia yang merawatnya sendiri. Yang dia inginkan hanya satu, semua anaknya berhasil.
Dengan kalimat yang cukup hati hati, anak yang sulung berkata, “Pak, kami ingin sekali merawat ibu. Semenjak kami kecil, melihat bapak merawat ibu, tidak ada sedikit pun keluhan keluar dari bibir bapak, bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu.”
Dengan air mata berlinang, anak itu melanjutkan kata katanya, “Sudah yang keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibu pun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak? Dengan berkorban seperti ini, kami sudah tidak tega melihat bapak. Kami janji, kami akan merawat ibu baik baik secara bergantian.”
Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak anaknya, “Anakku… Jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah, tapi ketahuilah, dengan adanya ibu kalian di sampingku, itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian. Sejenak kerongkongannya tersekat, kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satu pun dapat dihargai dengan apa pun.”
“Coba kalian tanya ibumu, apakah dia menginginkan keadaannya seperti ini? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah batin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang? Kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit?”
Sejenak meledaklah tangis anak anak Pak Suyatno. Mereka pun melihat butiran butiran kecil jatuh di pelupuk mata ibu Suyatno. Dengan pilu, ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu.
------------------
Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan mereka pun mengajukan pertanyaan kepada Suyatno, kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yang sudah tidak bisa apa apa.
Di saat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yang hadir di studio, kebanyakan kaum perempuan pun tidak sanggup menahan haru. Di situlah Pak Suyatno bercerita, ”Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi (waktu, tenaga, pikiran, perhatian), itu adalah kesia siaan.”
“Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat dia pun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan sepenuh hati, dan dia memberi saya 4 orang anak yang lucu lucu. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama.”
Friday, 26 October 2012
ANAK CACAT
“Huuu….uuura!”
Teriakan gembira dari seorang Ibu yang menerima telegram dari anaknya
yang telah bertahun-tahun menghilang. Apalagi ia adalah anak
satu-satunya. Maklumlah anak tersebut pergi ditugaskan perang ke Vietnam
pada 4 tahun yang lampau dan sejak 3 tahun yang terakhir, orang tuanya
tidak pernah menerima kabar lagi dari putera tunggalnya tersebut.
Sehingga diduga bahwa anaknya gugur dimedan perang. Anda bisa
membayangkan betapa bahagianya perasaan Ibu tersebut. Dalam telegram
tersebut tercantum bahwa anaknya akan pulang besok.
Esok harinya telah disiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan
putera tunggal kesayangannya, bahkan pada malam harinya akan diadakan
pesta khusus untuk dia, dimana seluruh anggota keluarga maupun
rekan-rekan bisnis dari suaminya diundang semua. Maklumlah suaminya
adalah Direktur Bank Besar yang terkenal diseluruh ibukota.
Siang harinya si Ibu menerima telepon dari anaknya yang sudah berada di airport.
Si Anak: “Bu bolehkah saya membawa kawan baik saya?”
Ibu: “Oh sudah tentu, rumah kita cuma besar dan kamarpun cukup banyak, bawa saja, jangan segan-segan bawalah!”
Si Anak: “Tetapi kawan saya adalah seorang cacad, karena korban perang di Vietnam?”
Ibu: “……oooh tidak jadi masalah, bolehkah saya tahu, bagian mana yang cacad?” – nada suaranya sudah agak menurun
Si Anak: “Ia kehilangan tangan kanan dan kedua kakinya!”
Si Ibu dengan nada agak terpaksa, karena si Ibu tidak mau
mengecewakan anaknya: “Asal hanya untuk beberapa hari saja, saya kira
tidak jadi masalah?”
Si Anak: “…tetapi masih ada satu hal lagi yang harus saya ceritakan
sama Ibu, kawan saya itu wajahnya juga turut rusak begitu juga kulitnya,
karena sebagian besar hangus terbakar, maklumlah pada saat ia mau
menolong kawannya ia menginjak ranjau, sehingga bukan tangan dan kakinya
saja yang hancur melainkan seluruh wajah dan tubuhnya turut terbakar!”
Si Ibu dengan nada kecewa dan kesal: “Na…ak lain kali saja kawanmu
itu diundang kerumah kita, untuk sementara suruh saja ia tinggal di
hotel, kalau perlu biar saya yang bayar nanti biaya penginapannya!”
Si Anak: “…tetap ia adalah kawan baik saya Bu, saya tidak ingin pisah dari dia!”
Si Ibu: “Cobalah renungkan olehmu nak, ayah kamu adalah seorang
konglomerat yang ternama dan kita sering kedatangan tamu para pejabat
tinggi maupun orang-orang penting yang berkunjung kerumah kita, apalagi
nanti malam kita akan mengadakan perjamuan malam bahkan akan dihadiri
oleh seorang menteri, apa kata mereka apabila mereka nanti melihat tubuh
yang cacad dan wajah yang rusak. Bagaimana pandangan umum dan bagaimana
lingkungan bisa menerima kita nanti? Apakah tidak akan menurunkan
martabat kita bahkan jangan-jangan nanti bisa merusak citra binis usaha
dari ayahmu nanti.”
Tanpa ada jawaban lebih lanjut dari anaknya telepon diputuskan dan ditutup.
Orang tua dari kedua anak tersebut maupun para tamu menunggu hingga
jauh malam ternyata anak tersebut tidak pulang, ibunya mengira anaknya
marah, karena tersinggung, disebabkan temannya tidak boleh datang
berkunjung kerumah mereka.
Jam tiga subuh pagi, mereka mendapat telepon dari rumah sakit, agar
mereka segera datang kesana, karena harus mengidetifitaskan mayat dari
orang yang bunuh diri. Mayat dari seorang pemuda bekas tentara Vietnam,
yang telah kehilangan tangan dan kedua kakinya dan wajahnyapun telah
rusak karena kebakar. Tadinya mereka mengira bahwa itu adalah tubuh dari
teman anaknya, tetapi kenyataannya pemuda tersebut adalah anaknya
sendiri! Untuk membela nama dan status akhirnya mereka kehilangan putera
tunggalnya!
Kita akan menilai bahwa orang tua dari anak tersebut kejam dan hanya
mementingkan nama dan status mereka saja, tetapi bagaimana dengan diri
kita sendiri? Apakah kita lain dari mereka?
Apakah Anda masih tetap mau berkawan
……. dengan orang cacad?
……..yang bukan karena cacad tubuh saja?
……. tetapi cacad mental atau
……..cacad status atau cacad nama atau
……..cacad latar belakang kehidupannya?
……. dengan orang cacad?
……..yang bukan karena cacad tubuh saja?
……. tetapi cacad mental atau
……..cacad status atau cacad nama atau
……..cacad latar belakang kehidupannya?
Apakah Anda masih tetap mau berkawan dengan orang
…….yang jatuh miskin?
…… yang kena penyakit AIDS?
…….yang bekas pelacur?
…….yang tidak punya rumah lagi?
…….yang pemabuk?
…….yang pencandu?
…….yang berlainan agama?
Renungkanlah jawabannya hanya Anda dan Sang Pencipta saja yang mengetahunya?!
Dan yang paling penting adalah “SIKAP” Kita dalam memandang suatu hal harus kita ubah menjadi yang lebih baik atau lebih positif.
Karena dengan sikap positif secara otomatis akan menumbuhkan sikap rendah hati, peduli terhadap orang lain dan tentunya hal-hal lain yang lebih baik.
…….yang jatuh miskin?
…… yang kena penyakit AIDS?
…….yang bekas pelacur?
…….yang tidak punya rumah lagi?
…….yang pemabuk?
…….yang pencandu?
…….yang berlainan agama?
Renungkanlah jawabannya hanya Anda dan Sang Pencipta saja yang mengetahunya?!
Dan yang paling penting adalah “SIKAP” Kita dalam memandang suatu hal harus kita ubah menjadi yang lebih baik atau lebih positif.
Karena dengan sikap positif secara otomatis akan menumbuhkan sikap rendah hati, peduli terhadap orang lain dan tentunya hal-hal lain yang lebih baik.
Jadilah Pelita
Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita.
Orang buta itu terbahak berkata: “Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang kok.”
Dengan lembut sahabatnya menjawab, “Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar mereka tidak menabrakmu.”
Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta.
Dalam kagetnya, ia mengomel, “Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang buta dong!”
Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.
Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta.
Kali ini si buta bertambah marah, “Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya kamu bisa lihat!”
Pejalan itu menukas, “Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat, pelitamu sudah padam!”
Si buta tertegun..
Menyadari situasi itu, penabraknya meminta maaf, “Oh, maaf, sayalah yang ‘buta’, saya tidak melihat bahwa Anda adalah orang buta.”
Si buta tersipu menjawab, “Tidak apa-apa, maafkan saya juga atas kata-kata kasar saya.”
Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan masing-masing.
Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta kita.
Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, “Maaf, apakah pelita saya padam?”
Penabraknya menjawab, “Lho, saya justru mau menanyakan hal yang sama.”
Senyap sejenak.
secara berbarengan mereka bertanya, “Apakah Anda orang buta?”
Secara serempak pun mereka menjawab, “Iya.,” sembari meledak dalam tawa.
Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang berjatuhan sehabis bertabrakan.
Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu, tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta.
Timbul pikiran dalam benak orang ini, “Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka.”
Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan!).
Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan, kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam perjalanan “pulang”, ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.
Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk “membuta” walaupun mereka bisa melihat.
Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.
Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.
Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya memiliki pelita kebijaksanaan.
Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita sendiri dan sekitar kita.
Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan: Sejuta pelita dapat dinyalakan dari sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan pun, tak kan pernah habis terbagi.
Bila mata tanpa penghalang, hasilnya adalah penglihatan. Jika telinga tanpa penghalang, hasilnya adalah pendengaran. Hidung yang tanpa penghalang membuahkan penciuman. Fikiran yang tanpa penghalang hasilnya adalah kebijaksanaan.
Subscribe to:
Posts (Atom)